
Kutai Timur, – Pernyataan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Rudy Mas’ud terkait status Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) menuai tanggapan tegas dari Ketua DPRD Kutim, Jimmi.
Dalam keterangannya gubernur menyebut Sidrap secara de jure berada di wilayah Kutim namun secara de facto dikelola Kota Bontang. Bagi Jimmi, pernyataan itu berpotensi menyesatkan publik dan memicu kerancuan.
“Masalah Kampung Sidrap bukan konflik wilayah seperti perang yang diperebutkan. Ini wilayah aman yang sudah diatur dalam UU (Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999. Ditambah lagi diperkuat oleh Permendagri Nomor 25 Tahun 2005. Jadi ini sudah sangat jelas,” ujarnya usai mengikuti mediasi,Senin, 11 Agustus 2025.
Jimmi mengingatkan, pejabat setingkat gubernur harus berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan, terutama yang dapat memicu polarisasi masyarakat. Ia juga menyoroti dugaan pelanggaran administrasi oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bontang yang tetap menerbitkan KTP bagi warga Sidrap.
“Ini jelas pelanggaran administrasi. Bontang sendiri mengakui salah, tapi tetap menerbitkan KTP. Jika ini terus dibiarkan, bisa masuk ranah pidana karena termasuk pemalsuan data,” tegasnya.
Sementara itu, isu kepemilikan KTP Bontang oleh sekitar 3.000 warga Sidrap dibantah oleh Kepala Desa Martadinata, Sutrisno. Menurutnya, angka tersebut mencakup warga di seluruh Kecamatan Teluk Pandan, bukan hanya di Kampung Sidrap.
“Ada yang berdomisili di sepanjang poros Desa Danau Redan, Suka Damai, Kandolo, dan poros Desa Teluk Pandan. Alasan warga memilih ber-KTP Bontang karena Pemkot Bontang punya regulasi sendiri terkait penerimaan tenaga kerja lokal. Padahal, banyak warga ber-KTP Bontang bekerja di perusahaan yang ada di wilayah Kutai Timur, seperti di PT Indominco,” jelasnya.
Sutrisno menegaskan, Perda yang diterbitkan Pemkot Bontang terkait penerimaan tenaga kerja lokal harus sejalan dengan aturan di tingkat nasional. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 5 dan 6 juga melarang diskriminasi dalam kesempatan kerja.
“UU Nomor 23 Tahun 2006 junto UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan juga menyebut KTP adalah identitas administrasi, bukan pembatas hak konstitusional untuk bekerja di wilayah NKRI,” tegas Sutrisno. (Vy*)